Suka Nulis
Contoh Legal Opinion Peninjauan Kembali (Narkotika)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
LEGAL
OPINION
PENINJAUAN
KEMBALI ATAS NAMA TERDAKWA
……………………………….
1.
Bahwa Terdakwa ………………
telah
diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Surabaya No: ……………….. tertanggal ……………
dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht) atas dasar itu, maka Pemohon PK telah memiliki Novum
(bukti baru) berupa putusan Pengadilan Negeri Surabaya untuk dihadirkan
dihadapan Majelis Hakim.
2.
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Kedalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menegaskan pada poin 2 huruf e yang
berbunyi:
“(2) bahwa
penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan huruf b
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada
klasifikasi tindak pidana sebagai berikut: e. Tidak terdapat bukti bahwa
yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika”
Sehingga Pasal
103 ayat (1) huruf a dan huruf b berbunyi:
“Hakim yang
memeriksa perkara pecandu narkotika dapat”
a.
Memutus untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika
Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;
atau
b.
Menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
3. Bahwa berdasarkan poin 2 tersebut, ……………… selaku Terdakwa berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tidak terbukti bersalah telah menjadi kurir Narkoba sebagaimana Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga sesuai dengan SEMA 04 Tahun 2010 Terdakwa Majelis Hakim setidak-tidaknya memerintahkan kepada Terdakwa untuk menjalani pengobatan melalui rehabilitasi jika memang tidak terbukti bersalah (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: …………………. tertanggal …………) yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht);
4. Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding terdapat pertentangan terhadap Putusan Kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang mana berdasarkan Putusan Kasasi menetapkan Terdakwa dengan Hukuman 20 (dua puluh) tahun penjara. Sehingga atas dasar itu, Pemohon PK memiliki hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali dengan alasan adanya putusan pengadilan yang saling bertentangan. Oleh karena itu, dalam hal ini Pemohon PK telah memiliki Novum (bukti baru) untuk menguatkan Terpidana, bahwasanya Terpidana tidak ada hubungannya dengan ……………… sebagaimana novum yang akan dihadirkan oleh Terpidana berupa Surat Pernyataan ……….. sebagai Saksi yang telah ada sejak Pengadilan Tingkat Pertama tetapi tidak pernah dibuktikan atau dihadirkan dalam persidangan, baik oleh Terpidana ataupun Jaksa Penuntut Umum;
5. Bahwa dengan ini Pemohon PK mengajukan saksi dan saksi ahli dalam persidangan Permohonan Peninjauan Kembali dan telah sesuai dengan kaida SEMA RI Nomor 05 Tahun 2014 dalam Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah Agung RI yang diselenggarakan pada tanggal 09 - 11 Oktober 2014 di Bandung, diikuti Para Hakim Agung dan Panitera Pengganti Kamar Pidana, telah menghasilkan kesepakatan yang terutama pada poin 1 yang berbunyi:
“Pengajuan
Saksi Mahkota (dalam praktek) dimungkinkan apabila memenuhi syarat: (a).
Perkara tersebut di-split; (b) terdakwa dalam kedudukan sebagai saksi diberitahukan
tentang hak-haknya dan konsekuensi hukumnya; (c). Dalam perkara tersebut alat bukti sangat minim”
6. Bahwa dalam Pemeriksaan Persidangan Peninjauan Kembali Pemohon dapat mengajukan surat-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan tingkat pertama sebagaimana yang tercantum dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 10;
7.
Bahwa dalam hal Bukti Baru berupa Surat
Pernyataan Saksi dan Saksi Ahli, Pemohon telah berupaya sesuai dengan ketentuan
Peninjauan Kembali sesuai
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 316 PK/Pd/V/2000, tanggal 29 Juni 2004
berbunyi :
“Kaidah Hukum: Bukti Baru atau Novum dilakukan penyumpahan oleh pejabat yang berwenang dan tidak disebutkan hari dan tanggal kapan diketemukannya bukti baru tersebut, adalah tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 69 huruf (b) UU No. 14 Tahun 1985 sehingga bukti baru tersebut tidak dapat diterima atau ditolak oleh Mahkamah Agung dalam upaya hukum peninjauan kembali”
8.
Bahwa apabila novum itu berupa “surat
pernyataan/surat persetujuan” maka harus disebutkan secara jelas kapan
keterangan itu disampaikan, dimana keterangan itu disampaikan dan dijelaskan
secara terperinci dalam surat pernyataan itu agar memenuhi persyaratan novum
surat sesuai dengan ketentuan Pasal 69 huruf b Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana yang tertuang dalam yurisprudensi
mengenai pernyataan seseorang Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor: 416 PK/Pdt/1998, tanggal 29 Mei 2002 yang berbunyi :
Suatu Akta
Notaris No. 114 berupa: “Pernyataan
Seseorang” yang kemudian disahkan oleh Pengadilan Negeri dengan Berita
Acara Sumpah yang isinya menyatakan bahwa Akta Notaris No. 29 tentang
Perjanjian Ikatan Jual Beli Tanah dibuat dengan niat buruk, tipu muslihat dan
kebohongan dengan merugikan pemilik tanah. Akta
Notaris No. 114 tersebut diterima oleh Majelis Mahkamah Agung sebagai “Novum”
eks Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b dari UU No. 14 Tahun 1985”.
9.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf b menegaskan mengenai “Surat” yaitu :
(2) Notaris
berwenang pula:
a.
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.
Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus.
Apabila
Surat Pernyataan hendak dijadikan alat bukti dalam persidangan wajib diketahui
terlebih dahulu mengenai Legalisasi dan Register (Waarmerking), yaitu :
Legalisasi itu bermaksud pada
dokumen/surat dan termasuk surat pernyataan/surat persetujuan yang
ditandatangani dihadapan notaris, tetapi setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan dihadapan notaris
yang bersangkutan. Sehingga dalam
hal Legalisasi, tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan
tanggal legalisasi dari Notaris. Hal tersebut bertujuan bahwa Notaris
menjamin keabsahan tanda tangan dari pihak yang dilegalisir tanda tangannya
(yang bertanda tangan di dalam dokumen), sehingga pihak yang menandatangani
tidak bisa menyangkal atau tidak mengetahui tentang isi surat/dokumen tersebut.
(Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan Notaris)
Penjelasan
Pasal 15 ayat (2) huruf a sebagai berikut “ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap
akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perorangan atau oleh para
pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku
khusus yang disediakan oleh notaris”
Sedangkan
Register (waarmerking) berbeda dengan Legalisasi, perbedaannya adalah
Register hanya mendaftarkan dokumen/surat dalam buku khusus yang dibuat oleh
Notaris, sehingga tanggal surat dengan tanggal pendaftarannya bisa saja
tidak sama. Oleh karenanya, waarmerking surat/dokumen tersebut Notaris
hanya bisa mendaftarkannya saja. Dengan demikian, kekuatan pembuktian antara
Legalisasi dengan Waarmerking jelas berbeda, Legalisasi memiliki kekuatan
pembuktian yang lebih daripada waarmerking. (Pasal 15 ayat (2) huruf b UU
Jabatan Notaris).
10. Bahwa pada prinsipnya surat pernyataan tidak memiliki kekuatan pembuktian apapun dan bukan merupakan alat bukti yang sah, kecuali surat pernyataan tersebut diakui keberadaan, isi dan keasliannya oleh si pembuat di bawah sumpah di depan persidangan. Sedangkan, Surat pernyataan merupakan surat bukan akta yang kekuatan pembuktiannya sangat kurang, dan masih bisa dipertanyakan isi serta keaslian dari surat tersebut. Sehingga surat pernyataan hanya berlaku untuk diri orang yang membuatnya, tidak berlaku atau mengikat bagi orang lain.
11. Bahwa Kekuatan pembuktian affidavit sebagai “alat bukti surat” kekuatan pembuktiannya sama dengan bukti permulaan dan masih sebagai alat bukti pelengkap, jika dijadikan alat bukti di pengadilan harus dibantu dengan alat bukti lain. Penilaian tetap diserahkan kepada hakim sesuai dengan keadaan yang ada.
12.
Bahwa apabila Majelis Hakim
menolak saksi untuk dihadirkan, kaidah putusan MK No. 65/PUU-VIII/2020,
keterangan saksi sebagai alat bukti yaitu orang yang dapat memberikan
keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan atas suatu
peristiwa pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, tidak selalu ia lihat
sendiri, dan tidak selalu ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu dan harus dinyatakan dalam proses persidangan, sehingga Hakim
tidak memiliki alasan untuk tidak memperkenankan saksi untuk dihadirkan dalam
ruang persidangan, sepertihalnya yang telah disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1)
KUHAP dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010 menyatakan makna saksi yaitu “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan , penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”
13. Bahwa keterangan seorang saksi yang dinyatakan dalam surat pernyataan tetapi tidak dihadirkan dalam persidangan, maka saksi tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian apapun sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988 menyatakan “Surat pernyataan yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian).”;
14. Bahwa
mengenai alat bukti berupa surat telah dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1)
huruf c yang kemudian dipertegas oleh Pasal 187 huruf a yang berbunyi :
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a.
berita acara
dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya
itu;
b.
surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c.
surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d.
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Menurut Dr. Andi Hamzah, SH berpendapat lain bahwasanya “Patut diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis diluar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP);
15. Bahwa saksi ahli atau Keterangan ahli dapat dihadirkan dalam persidangan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 186 KUHAP yang berbunyi “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan” yang kemudian dalam penjelasannya menegaskan bahwa “keterangan ahli pada pemeriksaan disidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim”. Sehingga cukup beralasan bahwa seorang Terpidana dapat menghadirkan saksi dihadapan majelis hakim guna menguatkan keyakinan hakim terhadap suatu perkara pidana;
16. Bahwa terdapat anggapan Pendapat ahli bukanlah alat bukti. Oleh karena itu, pada dirinya tidak pernah terpenuhi batas minimal pembuktian. Apabila sama sekali tidak ada alat bukti yang sah memenuhi syarat formil dan materill, dan yang ada hanya pendapat ahli, tidak dapat dibenarkan mempergunakannya sebagai alat bukti tunggal, meskipun hakim meyakini kebenaran pendapat itu. Apabila cara yang demikian dibenarkan, berarti hakim telah menjadikannya sebagai alat bukti yang sempurna, mengikat, atau menentukan dan tindakan itu sekaligus mencampakkan alat bukti yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 146 HIR, dan menggantikannya dengan alat bukti pendapat ahli.
Contoh Kasus-kasus
yang menghadirkan saksi ahli dalam persidangan peninjauan kembali, diantaranya:
l Pengadilan
Negeri Surabaya dalam perkara Peninjauan Kembali 286 PK/Pid.Sus/2019 juncto
1771 K/Pid.Sus/2013 Juncto 100/Pid.Sus/2011/PN. Sby dengan Terdakwa atas nama
Drs. Teguh Gunarko, M.Si dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Agung
Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana.
l Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Perkara Peninjauan Kembali 97 PK/Pid.Sus/2019 juncto 112/Pid.Sus/TPK/2016/PN.JKT.PST dengan Terdakwa atas nama Irman Gusman, S.E.,MBA dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana;
17. Bahwa
berdasakan ketentuan sebagaimana Pasal
263 ayat (2) Juncto Pasal 266 ayat (2) huruf (b) angka (2) KUHAP cukup
alasan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang berbunyi:
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan
atas dasar :
a.
apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(2)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
b.
apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali
itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
2. putusan lepas dari segala tuntutan
hukum;
Kesimpulan
1.
Dalam Sidang Peninjauan Kembali surat-surat
dan saksi-saksi dapat dihadirkan sesuai dengan Pedoman Teknis Administrasi
Mahkamah Agung. Sehingga tidak ada alasan Majelis Hakim untuk menolak surat dan
saksi tanpa dihadirkan dalam persidangan pemeriksaan;
2.
Saksi dan saksi ahli dapat dijadikan alat
bukti pada saat seorang saksi disumpah pengadilan dan dibuatkan berita acara
sumpahnya;
3.
Keterangan saksi/saksi ahli berupa “Surat
Pernyataan” dapat dijadikan alat bukti apabila telah dilegalisasi (dibuat,
dibacakan dan dijelaskan) dihadapan notaris sehingga tanggal pernyataan dan
tanggal notaris sama dan dicatatkan dalam buku khusus;
4. Saksi tidak harus selalu ia melihat, mendengar dan alami sendiri sesuai putusan Mahkamah Konstitusi;
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar