Suka Nulis
PENINJAUAN KEMBALI
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
PENINJAUAN
KEMBALI
Perlu
untuk dipahami terlebih dahulu mengenai permohonan peninjauan kembali seperti
yang akan dijelaskan dibawah ini:
Bahwa
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Kedalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menegaskan pada poin 2 huruf e yang
berbunyi:
“(2) bahwa penerapan
pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan huruf b
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada
klasifikasi tindak pidana sebagai berikut: e. Tidak terdapat bukti bahwa
yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika”
Pasal
103 ayat (1) huruf a dan huruf b berbunyi: “Hakim yang memeriksa perkara
pecandu narkotika dapat”
A.
Memutus untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika
Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;
atau
B.
Menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
Berdasarkan
SEMA RI Nomor 05 Tahun 2014 dalam Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah Agung RI
yang diselenggarakan pada tanggal 09 - 11 Oktober 2014 di Bandung, diikuti Para
Hakim Agung dan Panitera Pengganti Kamar Pidana, telah menghasilkan kesepakatan
yang terutama pada poin 1 yang berbunyi:
“Pengajuan
Saksi Mahkota (dalam praktek) dimungkinkan apabila memenuhi syarat: (a).
Perkara tersebut di-split; (b) terdakwa dalam kedudukan sebagai saksi
diberitahukan tentang hak-haknya dan konsekuensi hukumnya; (c). Dalam perkara tersebut alat bukti sangat
minim.
Dalam
Pemeriksaan Persidangan Peninjauan
Kembali dapat diajukan surat-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah
diajukan pada persidangan Pengadilan tingkat pertama. (Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana
Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 10)
BUKTI BARU dalam Peninjauan Kembali sesuai Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 316 PK/Pd/V/2000, tanggal 29 Juni 2004 berbunyi :
Kaidah Hukum: Bukti Baru atau Novum dilakukan penyumpahan
oleh pejabat yang berwenang dan tidak disebutkan hari dan tanggal kapan
diketemukannya bukti baru tersebut, adalah tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal
69 huruf (b) UU No. 14 Tahun 1985 sehingga bukti baru tersebut tidak dapat
diterima atau ditolak oleh Mahkamah Agung dalam upaya hukum peninjauan kembali.
Jadi,
apabila novum itu berupa “surat pernyataan/surat persetujuan” maka harus
disebutkan secara jelas kapan keterangan itu disampaikan, dimana keterangan itu
disampaikan dan dijelaskan secara terperinci dalam surat pernyataan itu agar
memenuhi persyaratan novum surat sesuai dengan ketentuan Pasal 69 huruf b
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
Kemudian
mengenai pernyataan seseorang dijelaskan pula dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 416 PK/Pdt/1998, tanggal 29
Mei 2002 yang berbunyi :
Suatu Akta Notaris
No. 114 berupa: “Pernyataan
Seseorang” yang kemudian disahkan oleh Pengadilan Negeri dengan Berita
Acara Sumpah yang isinya menyatakan bahwa Akta Notaris No. 29 tentang
Perjanjian Ikatan Jual Beli Tanah dibuat dengan niat buruk, tipu muslihat dan
kebohongan dengan merugikan pemilik tanah. Akta
Notaris No. 114 tersebut diterima oleh Majelis Mahkamah Agung sebagai “Novum”
eks Pasal 67 huruf b jo. Pasal 69 huruf b dari UU No. 14 Tahun 1985”.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf b
menegaskan mengenai “Surat” yaitu :
(2)
Notaris berwenang pula:
a.
Mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
b.
Membukukan surat-surat dibawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus.
Apabila
Surat Pernyataan hendak dijadikan alat bukti dalam persidangan wajib diketahui
terlebih dahulu mengenai Legalisasi dan Register (Waarmerking), yaitu :
Legalisasi itu bermaksud pada
dokumen/surat dan termasuk surat pernyataan/surat persetujuan yang
ditandatangani dihadapan notaris, tetapi setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan dihadapan notaris
yang bersangkutan. Sehingga dalam
hal Legalisasi, tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan
tanggal legalisasi dari Notaris. Hal tersebut bertujuan bahwa Notaris
menjamin keabsahan tanda tangan dari pihak yang dilegalisir tanda tangannya
(yang bertanda tangan di dalam dokumen), sehingga pihak yang menandatangani
tidak bisa menyangkal atau tidak mengetahui tentang isi surat/dokumen tersebut.
(Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan Notaris)
Penjelasan Pasal 15
ayat (2) huruf a sebagai berikut “ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap
akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perorangan atau oleh para
pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku
khusus yang disediakan oleh notaris”
Sedangkan
Register (waarmerking) berbeda dengan Legalisasi, perbedaannya adalah
Register hanya mendaftarkan dokumen/surat dalam buku khusus yang dibuat oleh
Notaris, sehingga tanggal surat dengan tanggal pendaftarannya bisa saja
tidak sama. Oleh karenanya, waarmerking surat/dokumen tersebut Notaris
hanya bisa mendaftarkannya saja. Dengan demikian, kekuatan pembuktian antara
Legalisasi dengan Waarmerking jelas berbeda, Legalisasi memiliki kekuatan
pembuktian yang lebih daripada waarmerking. (Pasal 15 ayat (2) huruf b UU
Jabatan Notaris).
Pada
prinsipnya surat pernyataan tidak memiliki kekuatan pembuktian apapun
dan bukan merupakan alat bukti yang sah, kecuali surat pernyataan tersebut
diakui keberadaan, isi dan keasliannya oleh si pembuat di bawah sumpah di depan
persidangan. Sedangkan, Surat pernyataan merupakan surat bukan
akta yang kekuatan pembuktiannya sangat kurang, dan masih bisa
dipertanyakan isi serta keaslian dari surat tersebut. Lagian surat pernyataan
hanya berlaku untuk diri orang yang membuatnya, tidak berlaku atau mengikat
bagi orang lain.
Kekuatan pembuktian affidavit sebagai “alat bukti
surat” kekuatan pembuktiannya sama dengan bukti permulaan dan masih sebagai
alat bukti pelengkap, jika dijadikan alat bukti di pengadilan harus dibantu
dengan alat bukti lain. Penilaian tetap diserahkan kepada hakim sesuai dengan
keadaan yang ada.
Hakim
tidak memiliki alasan untuk tidak memperkenankan saksi untuk dihadirkan dalam
ruang persidangan, sepertihalnya yang telah disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1)
KUHAP dengan kaidah putusan MK No. 65/PUU-VIII/2020, keterangan saksi sebagai
alat bukti yaitu orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan dan peradilan atas suatu peristiwa pidana yang tidak
selalu ia dengar sendiri, tidak selalu ia lihat sendiri, dan tidak selalu ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu dan harus
dinyatakan dalam proses persidangan.
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010 menyatakan makna saksi yaitu “Orang
yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan , penuntutan, dan
peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, ia alami sendiri”
Dasar
hukumnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985 tanggal 29
November 1988 menyatakan “Surat
pernyataan yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi
pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan
pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian).” Jadi
menurut yurisprudensi ini, keterangan seorang saksi yang dinyatakan dalam surat
pernyataan tetapi tidak dihadirkan dalam persidangan, maka saksi tersebut tidak
memiliki kekuatan pembuktian apapun;
Buku
IV KUHPerdata mengatur tentang pembuktian dan daluarsa. Alat bukti diatur dalam
Pasal 1866 KUHPerdata. Alat-alat bukti tersebut terdiri dari :
1. alat bukti
surat/tulisan;
2.
alat
bukti saksi-saksi;
3.
persangkaan;
4.
pengakuan, dan
5. Sumpah;
Dalam
hal surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dipertegas
oleh Pasal 187 huruf a yang berbunyi :
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah :
a.
berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b.
surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c.
surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d.
surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Dr.
Andi Hamzah, SH berpendapat lain, menurutnya : “Patut diperhatikan bahwa KUHAP
membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti
“keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis
diluar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c
KUHAP);
Keterangan
ahli dijelaskan dalam Pasal 186 KUHAP yang berbunyi “keterangan ahli ialah apa
yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan” yang kemudian dalam
penjelasannya menegaskan bahwa “keterangan ahli pada pemeriksaan disidang
diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji
dihadapan hakim”
Pendapat
ahli bukan alat bukti. Oleh karena itu, pada dirinya tidak pernah terpenuhi
batas minimal pembuktian. Apabila sama sekali tidak ada alat bukti yang sah
memenuhi syarat formil dan materill, dan yang ada hanya pendapat ahli, tidak
dapat dibenarkan mempergunakannya sebagai alat bukti tunggal, meskipun hakim
meyakini kebenaran pendapat itu. Apabila
cara yang demikian dibenarkan, berarti hakim telah menjadikannya sebagai alat
bukti yang sempurna, mengikat, atau menentukan dan tindakan itu sekaligus
mencampakkan alat bukti yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 146
HIR, dan menggantikannya dengan alat bukti pendapat ahli.
Kasus-kasus
yang menghadirkan saksi ahli dalam persidangan peninjauan kembali, diantaranya:
l Pengadilan
Negeri Surabaya dalam perkara Peninjauan Kembali 286 PK/Pid.Sus/2019 juncto
1771 K/Pid.Sus/2013 Juncto 100/Pid.Sus/2011/PN. Sby dengan Terdakwa atas nama
Drs. Teguh Gunarko, M.Si dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Agung
Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana.
l Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam Perkara Peninjauan Kembali 97 PK/Pid.Sus/2019 juncto
112/Pid.Sus/TPK/2016/PN.JKT.PST dengan Terdakwa atas nama Irman Gusman,
S.E.,MBA dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Mengabulkan Permohonan
Peninjauan Kembali Terpidana;
Kesimpulan
1.
Dalam Sidang Peninjauan Kembali
surat-surat dan saksi-saksi dapat dihadirkan sesuai dengan Pedoman Teknis
Administrasi Mahkamah Agung. Sehingga tidak ada alasan Majelis Hakim untuk
menolak surat dan saksi tanpa dihadirkan dalam persidangan pemeriksaan;
2.
Saksi dan saksi ahli dapat dijadikan
alat bukti pada saat seorang saksi disumpah pengadilan dan dibuatkan berita
acara sumpahnya;
3.
Keterangan saksi/saksi ahli berupa
“Surat Pernyataan” dapat dijadikan alat bukti apabila telah dilegalisasi
(dibuat, dibacakan dan dijelaskan) dihadapan notaris;
4.
Saksi tidak harus selalu ia melihat,
mendengar dan alami sendiri sesuai putusan Mahkamah Konstitusi;
Pasal
263 ayat (2) Juncto Pasal 266 ayat (2) huruf (b) angka (2) KUHAP cukup alasan
untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya
(2)
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
a.
apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan
terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(2)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut :
b.
apabila Mahkamah Agung membenarkan
alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali
itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
2. putusan lepas
dari segala tuntutan hukum;
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar